Minggu, 09 Januari 2011

“APAKAH MENGIKUTI SALAH SATU MAZHAB DALAM ISLAM MERUPAKAN SEBUAH KEHARUSAN??"

“Apakah mengikuti salah satu mazhab dalam Islam merupakan sebuah keharusan??" "Lalu apakah benar ikhtilath dalam bermazhab itu tidak dibenarkan??"

Begitulah bunyi dari pertanyaan yang dilontarkan oleh pemilik account di salah satu group jejaring social facebook yaitu FORUM KITAB KUNING, pertanyaan yang saya kira cukup menarik untuk dibahas serta dikaji oleh setiap anggotanya yang memang kebanyakan dari anggota dari group tersebut adalah alumni pondok pesantren yang tersebar di seluruh tanah air.

Sebagai salah seorang santri, terbenak dihati saya untuk mencoba menjawab sesuai kemampuan yang ada pada diri saya, maka setelah membaca dan mengambil ibaroh dari kitab-kitab yang mu’tabarah, saya mulai jawaban saya dengan membahas terlebih dahulu definisi taqlid, sebab yang menjadi tolak ukur dari pertanyaan tersebut diatas adalah mengikuti atau bertaqlid kepada salah satu madzhab serta ikhtilat atau mencampurkan fatwa antara madzhab yang satu dengan yang lainnya dalam satu ibadah amaliyah.

Taqlid dalam syariat islam artinya mengikuti, kalau boleh saya katakan "saya mengikuti madzhab imam syafi'ie" maka itu artinya "saya mengikuti madzhab syafi'ie" kalau misalkan si fulan mengikuti madzhab maliki, maka artinya si fulan itu mengikuti madzhab imam maliki dalam soal ibadat dan begitulah seterusnya.

Bertaqlid atau mengikuti salah satu madzhab yang empat itu dalam ajaran agama tidaklah jelek bahkan merupakan suatu keharusan karena hal itu terpakai dalam dunia islam dari dulu sampai sekarang, bahkan landasan teori tentang keharusan mengikuti suatu madzhab sendiri tertulis dalam al-qur’an dan kitab-kitab fiqih serta tafsier, bahkan banyak kita dapati dari dulu sampai sekarang ulama'-ulama' atau orang besar dalam islam yang dibelakang namanya digandengkan nama-nama imam tempat ia bertaqlid, misalkan pengarang tafsir Al-baghawi, beliau menuliskan namanya dengan "al-Imam Aljalil Muhyis Sunnah abi Muhammad al Husein bin Mas'ud al Farra' al-Baghawi as Syafi'ie" dan masih banyak lagi ulama’-ulama’ islam diantaranya adalah “Sayyid Muhammad Alawy bin Abbas al-Hasani al-Maliki”.

Mungkin kita perlu mengetahui bahwa tingkatan manusia dalam berijtihad kenyataanya terbagi menjadi tiga :

  1. Yang alim besar: yang saya maksud disini adalah para mujtahid muthlaq seperti imam yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'ie dan Hambali).
  2. Yang berilmu: yang saya maksud disini adalah para ulama’ akan tetapi dia masih belum mencapai derajat mujtahid muthlaq semisal para ulama’ yang bertaqlid kepada imam yang empat.
  3. Orang kebanyakan: seperti kita yang pada kenyataannya masih belum mengerti akan agama.

Agar tidak terjadi kesemrawutan mengenai pembagian tingkatan manusia tersebut diatas, baiklah saya mencoba untuk menjelaskan satu-persatu diantara golongan-golongan itu.

Golongan yang pertama, yaitu imam-imam mujtahid yang sudah sampai ilmunya kepada derajat mujtahid yang menurut ukuran umum dalam islam, maka ia boleh berijtihad dan bahkan wajib berijtihad untuk menggali suatu istinbat dari al-qur’an dan hadits, ia tidak boleh mengikuti mujtahid yang lain tetapi ijtihadnya itu tidak boleh membatalkan atau menyalahkan ijtihad para imam mujtahid yang telah mendahuluinya.

Sedangkan golongan yang kedua, ia wajib bertaqlid kepada salah satu imam mujtahid yang disukainya dan ia yakini akan kemampuan dan kreadibilitas keilmuannya akan tetapi ia harus menyelidiki dalil-dalil dan alasan-alasan dari fatwa imamnya.

Adapun golongan yang ketiga adalah golongan yang terbanyak dalam masyarakat kita, jadi mau tidak mau ia harus bertaqlid kepada salah satu imam dalam agamanya.

Dalam kitab Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi'ien hal 7 Syekh Nawawi Banten mengatakan bahwa mujtahid itu terbagi menjadi tiga bagian sebagai mana yang tertuang dalam ibarohnya:

والمجتهد المطلق هو من يقدر على استنبا الأحكام من الأدلة ومجتهد المذهب هو الذى يقدر على الاستنباط فى قواعد إمامه كالمزنى والبويطى ومجتهد الفتوى من يقدر على الترجيح لبعض أقوال إمامه على بعض, كالنووى والرافعى لا كالرملى وابن حجر لأنهما مقلدان فقط, ويجب على من لم يكن فيه أهلية الاجتهاد المطلق أن يقلد فى الفروع واحدا من الأئمة الأربعة (نهاية الزين فى إرشاد المبتدئين, الصفحة 7)

Dari ibaroh diatas dapatlah saya mengambil beberapa poin penting diantaranya adalah:

  1. Mujtahid Muthlaq : ialah orang sanggup menggali istinbath hukum dari dalil dalil. contohnya imam yang empat
  2. Mujtahid Madzhab: ialah orang yang kuasa menggali hukum-hukum berdasarkan qoidah imam mujtahid muthlaq, salah satu contoh dalam madzhab syafi'ie adalah Imam al-Muzanni dan Imam al-Buwaithi sebab kedua-duanya adalah murid langsung dari imam syafi'ie.
  3. Mujtahid Fatwa: ialah orang yang kuasa mentarjihkan atau menguatkan perkataan imam yang ia taqlid, salah satu contoh dalam madzhab syafi'ie adalah Imam Nawawi dan Imam ar-Rofi'ie, sedangkan Imam ar-Ramli dan Ibnu Hajar al-Haitami sebab kedua-duanya masih taqlid kepada imam sebelumnya karena beliau belum sampai kepada derajat mujtahid tarjih/fatwa apalagi mujtahid madzhab apalagi sampai mujtahid muthlaq.

Nah dari uraian diatas sangatlah jelas bahwa mengikuti salah satu madzhab adalah merupakan suatu keharusan dalam islam agar supaya tidak salah jalan dalam hal ibadah dan amaliyah. Mungkin ada pertanyaan "bukankah dengan bertaqlid atau mengikuti salah satu madzhab, kita akan menjadi jumud, beku dan tak berkemajuan??" jawabannya “tentu tidak, karena kalau kita lihat dari dulu sampai sekarang banyak sekali ulama'-ulama islam yang menorehkan tinta emasnya dalam khazanah keilmuan islam, mereka bertaqlid tapi karya mereka masih tetap utuh sampai sekarang” contohnya Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhori atau yang kita kenal dengan Imam Bukhori, beliau masih bertaqlid kepada Imam Syafi'ie, tetapi alhamdulilah beliau tidak beku, bahkan kitab beliau banyak dikaji dan dibaca sampai sekarang oleh umat islam bahkan seluruh hadits yang diriwayatkan oleh beliau adalah shohih dan kitab Shohihul Bukhori merupakan kitab nomor dua setelah Al-Qur'an.

Dalam kitab I'anatut Tholibin hal 17 juz 1, Sayyid Abu Bakar Syatha ad-Dimyati berfatwa:

كل من الأئمة الأربعة على الصواب ويجب تقليد واحد منهم ومن قلد واحدا منهم خرج من عهدة التكليف وعلى المقلد أرجحية مذهبه أو مساواته ولايجوز تقليد غيرهم فى إفتاء أو قضاء. قال ابن حجر ولايجوز العمل بالضعيف بالمذهب ويمتنع التلفيق فى مسألة كأن قلد مالكا فى طهارة الكلب والشافعى فى مسح بعض الرأس (إعانة الطالبين, الجزء 1 الصفحة 17)

Artinya: setiap imam yang empat itu berjalan dijalan yang benar maka wajiblah bagi umat islam untuk bertaqlid kepada salah satu diantara yang empat tadi sebab orang yang sudah bertaqlid kepada salah satu imam yang empat tersebut maka ia telah terlepas dari tanggungan dalam keagamaan dam orang yang bertaqlid haruslah yakin bahwqa madzhab yang ia ikuti itu benar dan sama benarnya dengan yang lain serta tidak boleh bertaqlid kepada madzhab lain selain madzhab yang ia ikuti, seperti apa yang dikatakan oleh ibnu hajar alhaitami: tidak boleh seseorang yang menganut suatu madzhab berbuat talfiq (mencampur adukkan madzhab untuk mencari yang ringan-ringan) misalnya mengikuti imam malik yang mensucikan anjing dan juga mengikuti imam syafi'ie dalam membasuh sebagian kepala dalam berwudu'.

Talfiq sendiri ialah bertaqlid kepada dua madzhab dalam satu amal ibadah. contoh seorang yang berwudu' dengan wudhu' imam syafi'ie yang hanya megusap sebagian kecil dari kepala kemudia setelah itu salah satu badan atau bajunya dijilat anjing kemudia orang itu tetap sholat, ketika ditanya “kenapa anda sholat sedangkan anda tidak membasuh apa yang dijilat anjing sebanyakl 7 kali?” dengan enteng dia menjawab “lah wong kata imam malik anjing itu gak najis toh?” lah ini kan rusak? maka dari itu ikhthilat atau talfiq dalam bermadzhab itu sangat tidak dibenarkan sebab hal itu akan menjadikan tatanan keagamaan menjadi hancur dan tidak beraturan. wallahu a'lam bis showab ilahi istinadi wa'timadi wa ilaihi turja'ul umur.

KITAB IHYA’ ULUMUDDIN SEBUAH MAHAKARYA SARJANA MUSLIM YANG SARAT AKAN KOMPLEKSITAS ILMU

"Kalau engkau bukan putra raja, juga bukan putra ulama' besar, maka jadilah penulis" begitulah ungkapan seorang al-ghozali akan pentingnya produktifitas dalam melahirkan karya, terutama dalam bidang tulis menulis. Dan memang penulis sempat berfikir dan berkesimpulan bahwa ungkapan al-ghozazli tersebut bukan hanya sekedar basi-basi atau pun slogan yang keluar dari mulut beliau tanpa adanya penerapan yang signifikan, tetapi lebih dari itu memang benar adanya, bahwa beliau adalah satu dari ribuan sarjana muslim yang produktif dalam bidang tulis menulis. Salah satu karya fenomenalnya yang masih banyak dikaji oleh berbagai lembaga pendidikan sampai sekarang adalah karyanya yang dikenal dengan ihya' ulumuddin, sebuah kitab yang telah berusia seribu tahun lebih yang didalamnya sarat akan berbagai macam disiplin ilmu.

Kitab ihya' ulumuddin adalah satu dari sekian karya al-ghozali yang mendapat tempat yang lebih dihati para ulama' islam, lebih-lebih mereka yang sudah mencapai tingkat ma'rifat kepada Allah SWT, sebab didalam kitab yang terdiri dari empat jilid besar tersebut banyak menerangkan berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu-ilmu dzhahiriyah dan bathiniyah.

Salah satu kelebihan dari kitabihya' ini adalah kompleksifitas berbagai macam disiplin ilmu yang pada kenyataannya sering dipakai didalam interaksi sesama manusia, diantaranya adalah ilmu-ilmu yang berkenaan dengan mu'amalah yang mengatur hukum dan tata cara kehidupan manusia dalam melaksanakan aktivitas sosial ekonominya seperti jual beli, hutang-piutang, hibah, pertanian dan lain sebagainya.

Adapun ilmu Mu'amalah itu sendiri menurut al-ghozali dalam kitab ini terbagi menjadi dua macam, yaitu mu'amalah dzhohiriyah dan mu'amalah bathiniyah, yang pada akhirnya masing-masing diantara mua'amalah ini terbagi menjadi beberapa bagian, yang pertama adalah mu'amalah dzhohiriyah terbagi menjadi dua macam, yang pertama adalah ibadat dan yang kedua 'adat (tata karma). Sedangkan mu'amalah bathiniyah itu sendiri terbagi menjadi dua bagian juga, pertama adalah kewajiban orang mukallaf untuk menjauhi dan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela sedang yang kedua adalah kewajiban bagi seorang mu'min untuk mengisi dan menghiasi hatinya dengan sifat-sifat terpuji.

Dari ke-empat pembagian ilmu yang dipaparkan oleh al-ghozali diatas maka paling tidak penulis menyimpulkan bahwa kitab ihya' ulumuddin terdiri dari ¼ bab yang menerangkan ibadat, ¼tentang adat (tata karma), ¼ muhlikat (perkara yang merusak hati manusia) dan ¼ tentang munjiyat (perkara yang menyelamatkan hati manusia), oleh karena itu maka tidak salah kalau para ulama banyak memberikan inducement atau testimony dan komentar tentang keagungan kitab ini.

Diantara ulama' yang memberikan komentar akan keagungan kitab ihya' ini adalah syekh yahya bin syaraf atau yang kita kenal dengan imam nawawi, beliau mengatakan "kadal ihya'u an yakuna qur'anan" kitab ihya' ulumuddin karya al-ghozali itu hampir menyerupai al-qur'an, syekh abu Muhammad al-kazuruni pernah berkata "andai kata semua ilmu itudihapus, niscaya aku akan mengambil kesimpulan dari kitab ihya'", dan habib Abdullah al-idrus seorang ulama' yang bergelar qhutbul auliya (walikutub) juga memberikan komentar tentang kitab ihya' ulumuddin karya al-ghozali ini, beliau mengatakan "lau ba'atsahullahu mauta lama ausholahya'a illa fil ihya'I" seandainya Allah SWT menghidupkan orang-orang yang telah mati, maka akan aku anjurkan kepada mereka mengamalkan apa yang ada dalam kitab ihya' ulumuddin.

Isi kitab ihya' ulumuddin yang sangat menonjol dan banyak menjadi rujukan ulama'-ulama' sufi mulai dari dulu sampai sekarang adalah pembahasan masalah tasawuf, karena pokok ajaran tasawufyang dikembangkan oleh imam junaidi al-baghdadi dan al-ghozali sendiri adalah bahwa pada dasarnya ilmu tasawuf itu merupakan bimbingan jiwa agar menjadi suci dan selalu menyatu dengan Allah SWT,sehingga dengan hal itu manusia memperoleh tuntunan yang dapat menyampaikannya kepada pengenalan tuhan dengan sebenar-benarnya dalam hal ini adalah tingkat ma'rifat.

Maka disinilah peran tasawuf sebagai jalan sebaik-baiknya dengan penghiasan akhlak seindah-indahnya jauh lebih baik dari pada pengetahuan dan hikmah lahiriyah semata, karena tujuan tasawuf adalah membawa manusia ke tingkat yang lebih mendekatkan manusia kepada Allah SWT.

Oleh sebab itu seorang sufi harus berusaha meningkatkan kwalitas keimanannya dengan mengaplikasikan sepuluh maqom dalam tingkatan tasawuf, yaitu:

  1. Maqom taubat: yaitu meningkatkan keimanan serta tidak mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan dosa-dosa sepadannya demi menjujung tinggi ajaran Allah SWT dan menjauhi segala yang menyebabkan murkanya.
  2. Maqom wara': yaitu menahan diri tidak melakukan sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah Allah SWT. Wara' itu sendiri menurut al-ghozali dibagi menjadi dua macam, yaitu: wara' lahiriyah (meninggalkan seluruh perbuatan kecuali karena Allah SWT) dan wara' bathiniyah (sikap hati yang tidak mau menerima selain karena Allah).
  3. Maqom zuhud: yaitu lepasnya pandangan keduniawian dan selalu memandang pandangan ukhrowi. Zuhud ini didalam kitab ihya' ulumuddin dibagi menjadi dua macam, yaitu: zuhud fardhu (zuhud dari segala barang haram) dan zuhud fadilah (zuhud dari barang halal demi meningkatkan kwalitas ketakwaan kepada Allah SWT).
  4. Maqom sabar: yaitu sifat dan sikap tabah atas tuntutan agama kepada manusia dalam menghadapi dorongan hawa nafsu.
  5. Maqom faqir: yaitu sifat tenang dan tabah ketika menderita dan selalu mementingkan orang lain.
  6. Maqom sukur: yaitu usaha memanfaatkan nikmat Allah SWT pada jalan ketaatan dan tidak mempergunakannya dalam kemaksiatan, sukur disini menurut al-ghozali juga berarti kesadaran bahwa semua nikmat datangnya dari Allah SWT.
  7. Maqom khouf: yaitu rasa takut dan ngeri dalam menghadapi siksa Allah.
  8. Maqom roja': yaitu rasa gembira hati karena mengetahui adanya kemurahan dzat yang menjadi tumpuan harapannya. disini al-ghozali mengibaratkan antara khouf dan raja' diibaratkan dua buah sayap burung, jika keduanya seimbang maka burung tersebut bias terbang dengan sempurna, tapi jika salah satunya ada yang patah ataupun rusak tentulah ia akan jatuh dan mati.
  9. Maqam tawakkal: yaitu sikap hati yang selalu bergantung kepada Allah SWT, dalam menghadapi segala urusan baik yang disuka, dibenci ataupun yang ditakuti.
  10. Maqam ridha: yaitu kepuasan hati dalam menerima nasib jelek sebagaimana menerima nasib baik, seseorang bias dikatakan mencapai makam ridha apabila ia mersa puas dan senang dalam menerima nikmat. Wallahu a'lam bis showab

"Ternyata kitab hasyiyah atau syarah tafsir yang dikarang ulama’ ahlusunnah wal jama’ah ada yang direduksi oleh kaum wahabi”

Mungkin diantara kita atau temen-temen yang notebane pernah menjadi santri tentu akan mengenal sebuah kitab tafsir yang terkenal yaitu tafsir jalalain yang dikarang oleh imam Jalaluddin as-Suyuti dan imam Jalaluddin al-Mahalli mengingat kitab tafsir ini sering dijadikan kajian mingguan diberbagai pondok pesantren yang ada di Indonesia.

Dan dalam khazanah keilmuan islam klasik setiap cabang disiplin ilmu musti ada yang mensyarah (menerangkan dalam bentuk kitab juga) atau menghasyiyah (memberikan komentar dalam kitab juga), nah ada salah satu dari hasyiyah kitab tafsir jalalain yang dikarang oleh seorang ulama’ ahlusunnah wal jama’ah dari madzab maliki yaitu Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki (w 1214 H) tersebut sebagian isinya telah direduksi oleh kaum wahabi karena si pengarang telah membongkar sejarah hitam mereka.

Pada awalnya saya tidak mengetahui bahwa kitab tersebut telah direduksi oleh kaum wahabi, akan tetapi setelah saya datang dan silaturrahiem ke salah satu pondok pesantren yang sampai saat ini masih tetap melestarikan kesalafiyahannya yaitu Pondok Pesantren Al-Mubarak Lanbulan Sampang Madura disana saya sempat sowan kepada pengasuhnya yaitu Syekh Ahmad Barizi Muhammad fathillah seorang ulama’ yang wara’, zuhud dan mutafannin diberbagai bidang disiplin ilmu agama, beliau masih guru dari ulama’ besar Mekkah yaitu Syekh Muhammad bin Ismail al-Yamani al-Makki karena memang beliau yaitu Syekh Muhammad bin Isma’il banyak mengambil ijazatus sanad hadits dan berbagai macam kitab dari Syekh Ahmad Barizi Bin Muhammad Fathillah.

Nah dalam kesempatan itu saya melakukan semacam kajian bersama para asatidz bujang yang memang mumpuni dan boleh dikatakan bintangnya asatidz yang ada di Pondok Pesantren al-Mubarak Lanbulan, kebetulan yang kita kaji adalah Kitab Hasyitus Showi Ala Tafsiril Jalalain ketika pembahasan sampai kepada tafsir surat al-fathir yang terdapat pada jilid IV halaman 78 dari Kitab Hasyitus Showi Ala Tafsiril Jalalain yang diterbitkan oleh dar ihya’ turots al aroby disana ada ibaroh:

وقيل هذه الآية نزلت فى الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب والسنة ويستحلون بذلك دماء المسلمين وأموالهم, لما هو مشاهد الآن فى نظائرهم وهم فرقة بأرض الحجاز يقال لهم الوهابية يحسبون أنهم على شيء على إنهم هم الكاذبون, استحوذ عليهم الشيطان فأنساهم ذكر الله أولئك حزب الشيطان هم الخاسرون, نسأل الله الكريم أن يقطع دابرهم. (حاشية الصاوى على التفسير الجلالين, الجزء 4 الصفحة 78)

Yang artinya begini: Menurut satu pendapat ayat ini turun tentang kaum Khawarij yang telah merusak takwil al-Qur’an dan Sunnah, yang mana untuk tujuan itu mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-harta mereka, kenyataan ini sebagaimana terbukti di masa sekarang, sebuah kelompok yang sama persis dengan kaum Khawarij tersebut, mereka adalah kelompok yang berada di negeri Hijaz, mereka dinamakan dengan kelompok Wahabiyah, mereka menganggap diri mereka di atas kebenaran, padahal sesungguhnya mereka adalah orang-orang pendusta, mereka telah dijerumuskan oleh setan, hingga setan itu telah menjadikan mereka lupa dari mengingat Allah. Mereka itu adalah golongan setan, dan sesungguhnya golongan setan adalah golongan yang merugi. (Hasyitus Showi Ala Tafsiril Jalalain, juz IV hal 78).

Terus ketika saya dan para musyawirin membandingkan dengan kitab yang sama juga pada juz dan halaman yang sama akan tetapi kitab yang satunya diterbitkan oleh Dar al Kutub al Ilmiyyah milik kaum wahabi, nah ini dia ibarohnya:

وقيل هذه الآية نزلت فى الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب والسنة ويستحلون بذلك دماء المسلمين وأموالهم, استحوذ عليهم الشيطان فأنساهم ذكر الله أولئك حزب الشيطان هم الخاسرون, نسأل الله الكريم أن يقطع دابرهم.

Yang artinya begini: Menurut satu pendapat ayat ini turun tentang kaum Khawarij yang telah merusak takwil al-Qur’an dan Sunnah, yang mana untuk tujuan itu mereka menghalalkan darah orang-orang Islam dan harta-harta mereka, mereka telah dijerumuskan oleh setan, hingga setan itu telah menjadikan mereka lupa dari mengingat Allah. Mereka itu adalah golongan setan, dan sesungguhnya golongan setan adalah golongan yang merugi.

Subhanallah saya begitu mengagumi keterangan yang disampaikan salah seorang ustadz yang umurnya masih belia mungkin seumuran saya dengan cerdas dan lugasnya dia menerangkan bahwa hal ini adalah bentuk penghancuran khazanah keilmuan islam yang dilakukan oleh kaum wahabi karena mereka ingin menghancurkan citra kaum ahlusunnah wal jama’ah, saya kira apa yang dikatakan ustadz tersebut memang benar adanya dan sesuai dengan pembahasan dalam kitab al-Mafahim karya Sayyid Muhammd Bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani karena salah satu kebobrokan kaum wahabi banyak disinggung dan dibahas dalam kitab tersebut sehingga banyak diburu oleh kaum wahabi untuk dihancurkan. Alhamdulillah cetakan asli kitab al-Mafahim tersebut berada di perpustakaan pondok pesantren Al-Mubarok lanbulan sebagai upaya untuk melestarikan paham ahlusunnah wal jama’ah. Wallahu a’lam bis showab….!!!

BIOGRAFI SINGKAT BEBERAPA KITAB YANG MASHUR DALAM MADZHAB IMAM SYAFI’IE SERTA PERBEDAAN PRINSIPIL DIANTARA KE EMPAT MADZHAB

Dalam Madzab Syafi’ie terdapat berbagai macam kitab yang terdiri dari fatwa beliau yaitu Al-Qoulul Qodim dan Al-Qoulul Jadid, adapun kitab-kitabnya yang berkenaan dengan Al-Qoulul Jadid adalah: Al-Umm, Al-Imla’ Al-Buwaithi Dan Mukhtashor Al-Muzanni. Istilah al-qoulul jadid adalah permasalahan hukum agama yang difatwakan Imam Syafi’ie setelah beliau hijrah ke Mesir baik secara lisan ataupun ketetapan pendapatnya. Diantara ulama’ sekaligus murid beliau yang meriwayatkan fatwa Al-Qoulul Jadid ini adalah:

Imam Muzanni (wafat tahun 264 H) nama lengkap beliau adalah Imam Abu Ibrahim Ismail Bin Yahya Almuzanni, beliau lahir di Mesir pada tahun 175 H serta 25 tahun lebih muda dari imam syafi’ie. Imam syafi’ie pernah berkata bahwa Al-Muzanni adalah pembela madzhabnya, beliau adalah ulama’ yang sholeh, zuhud dan rendah hati diantara karangan beliau adalah:

  1. Al-jami’ al-Kabir
  2. Al-Jami’ as-Shogir
  3. Al-Mukhtashor
  4. Al-Mansur
  5. At-Targhib Fil Ilmi
  6. al-masailul mu’tabarah

Al-Buwaithi (wafat tahun 231 H) nama lengkap beliau adalah Abu Ya’kub Yusuf Bin Yahya Al-Buwaithi, beliau merupakan murid langsung dari Imam Syafi’ie serta sering menggantikan posisinya dalam setiap permasalahan. Diakhir hidupnya beliau ditangkap oleh pemerintah yang pro kaum Mu’tazzilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk bukan kalamullah.

Ar-Rabi’ Bin Sulaiman Al-Muradi (wafat tahun 270 H) lahir pada tahun 174 H, beliau adalah asisten pribadi Imam Syafi’ie dalam penulisan kitab Al-Umm dan kitab Ar-Risalah Al-Jadidah.

Sedangkan istilah Al-Qoulul Qodim adalah permasalahan hukum agama yang difatwakan beliau sebelum memasuki Mesir, diantara ulama’ sekaligus murid beliau yang banyak meriwayatkan fatwa Al-Qoulul Qodim ini adalah:

Imam Ahmad ibnu Hambal (pencetus Madzhab Hambali),

Al-karabisy (wafat tahun 245 H) nama lengkap beliau adalah Imam Abu Ali Al-Karabisy, beliau dulunya adalah salah satu ulama’ dari madzhab Imam Hanafi, kemudia beliau berguru kepada imam syafi’ie dan akhirnya beliau menajadi tiang tengah dalam menegakkan fatwa dan aliran imam syafi’ie.

Az-za’farani (wafat tahun 260 H) nama lengkap beliau Imam Hasan Bin Muhammad Az Za’farani, beliau lahir di dusun As-Za’farani kemudian pindah ke kota Baghdad, beliau adalah murid langsung dari imam syafi’ie, bahkan Imam Bukhori seorang ahli hadits yang terkenal banyak meriwayatkan hadits dari beliau.

Banyak sekali diantara murid imam syafi’e yang notebene adalah ulama’ sholeh yang mengarang beberapa kitab yang mana kitab tersebut dikenal sebagai ujung tombak dalam madzhab syafi’ie, yang mana disetiap kitab terdapat terdiri dari Muthowwil, Mukhtashor, syarah, ta’liq dan hasyiyah. Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan beberapa kitab imam syafi’ie yang terkenal dimulai dari yang paling atas sampai yang paling bawah, diantaranya adalah:

Kitab Al-Umm dan cabang-cabangnya

Kitab Al-Umm adalah induk dari beberapa kitab madzhab syafi’ie oleh karena itu Imam Muzanni meringkasnya dengan ringkasan yang jelas dan jeli yang pada akhirnya kitab mukhtashor karangan imam muzanni ini dikenal dengan Mukhtashor Al-Muzanni, sedang kitab Mukhtashor Muzanni ini disyarah oleh Abu Alma’ali Dhiya’uddin Abdul Malik Bin Muhammad Abdullah Bin Yusuf Al-Juwaini yang masyhur dengan Imamul haramain kitab yang disyarah oleh beliau diberi nama Nihayatul Mathlab fi Dirosatil Madzhab.

Sedangkan kitab nihayatul mathlab ini diringkas oleh murid beliau yaitu Hujjatul Islam Imam Al-Ghozali dalam kitabnya Al-Basith, Al-Washit dan Al-Wajiz, sedang Al-Wajiz diringkas sendiri oleh beliau ke dalam kitab Al-Mukhtashor, kemudian Imam Rofi’e meringkas kitab Al-Wajiz ke dalam kitab Al-Muharrar dan kitab Al-Muharrar sendiri diringkas oleh Imam Nawawi kedalam kitabnya yang terkenal yaitu Al-Minhaj atau Minhajut Tholibin.

Kitab Mukhtashor Imam Muzanni

Kitab mukhtshor Imam Muzanni terdapat beberapa syarah diantaranya adalah Nihayatul Mathlab Fi Dirosatil Madzhab karangan Imamul Haramain, Al-Hawi Al-Kabir karangan Imam Al-Mawardi, dan Al-Ifshoh karangan karangan Imam Hasan At-Thobari.

Kitab Al-Washit lil Imam Al-Ghozali

Kitab Al-Washit karya Al-Ghozali banyak disyarah oleh beberapa ulama’ yang mumpuni dibidangnya diantaranya adalah Syaikh Najmuddin Bin Rif’ah Al-Mishri dalam kitabnya Al-Muhith, Imam Nawawi dalam kitabnya At-Tanqih dan lain sebagainya.

Kitab Al-Minhaj (Minhajut Tholibin)

Kitab al-minhaj atau minhajut tholibin disyarah oleh beberapa ulama setelah pengarangnya wafat diantarnya adalah Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj Fi Syarhil Minhaj, Imam Ar-Romli dalam kitabnya Nihayatul Muhtaj, Imam Zakaria Al-Anshori dalam kitabnya Al-Minhaj, Imam Khotib As-Syirbini dalam Mughnil Muhtaj.

Kitab Al-Hawi Al-kabir

Kitab ini diringkas oleh Ibnu Muqri dalam kitabnya Al-Irsyad sedangkan kitab Al-Irsyad disyarah oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitabnya Fathul Jawwad.

PERBEDAAN PRINSIPIL ANTAR MADZHAB YANG EMPAT

Disamping kita mengetahui dengan jelas beberapa kitab yang masyhur dalam madzhab Syafi’ie perlu juga bagi kita mengetahui perbandingan dan perbedaan yang sifatnya prinsipil diantara ke empat madzhab yang dijadikan landasan dan acuan dalam ibadah sehari-hari oleh orang muslim di dunia, baiklah penulis akan mengemukakan perbedaan tersebut diatas secara singkat.

Imam Hanafi berpendapat bahwa hadits yang akan dipakai menjadi dasar hukum haruslah hadits yang kuat saja, yang tinggi derajat keshahihannya bahkan lebih baik yang mutawatir (yang banyak orang merawikannya). Kalau seandainya tidak terdapat hadits mutawatir maka kata beliau lebih baik pindah kepada ra’yi dan qiyas, sebab kalau mengambil dasar hukum dengan pendapat, menurut imam hanafi lebih terjamin kebenarannya dari pada mengambil hadits-hadits yang diragukan keshahihannya, oleh sebab itu Madzhab hanafi dikenal sebagai madzhab Ahli Ra’yi, Ahli Pendapat dan Ahli Qiyas.

Imam Malik berpendapat bahwa dasar hukum yang kedua adalah hadits, tapi kalau seandainya ada hadits yang berlawanan dengan amalan orang madinah, maka yang didahulukan adalah amalan orang madina, mungkin pembaca sempat terkejut kenapa harus amalan orang madinah? Karena Imam Malik menganggap bahwa amalan orang madinah sama juga dengan hadits, sebab amalan orang madinah diriwayatkan dengan perbuatan yaitu perbuatan Nabi dilihat oleh para sahabat lantas diikuti dan diamalkan sampai kepada tabi’in, tabiit tabi’in dan seterusnya.

Imam Syafi’ie berpendapat bahwa hadits-hadits diutamakan pengambilannya, baik dibandingkan dengan ra’yi maupun dengan amalan orang-orang madinah, bagi beliau hanyalah hadits dan hadits, ra’yi ataupun amalan orang-orang madinah tidak berlaku kalau bertentangan dengan hadits. Bagi beliau juga bahwa al-qur’an dan hadits adalah yang utama baru kalau tidak ada di al-qur’an dan hadits boleh pindah ke ijma’ dan qiyas yan mana kedua-duanya harus bersandar pada al-qur’an dan hadits juga.

Imam Hambali berpendapat bahwa kalau tidak terdapat hukum sesuatu dalam al-Qur’an maka carilah dalam hadits nabi.

Dari beberapa keterangan diatas maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa sumber-sumber penggalian hukum diantara masing-masing madzhab tersebut diatas adalah sebagai berikut:

1. Sumber Madzhab Hanafi: Al-Qur’an, Sunnah Rasul yang shohih-shohih dan masyhur saja, ijma’ sahabat nabi, Qiyas dan Istihsan.

2. Sumber Madzhab Maliki: Al-Qur’an, Sunnah Rasul yang shahih menurut beliau, Amalan para ulama’ madinah pada waktu itu, Qiyas, Mashalihul Mursalah.

3. Sumber Madzhab Syafi’ie: Al-Qur’an, Hadits Shohih Ahad, Shohih mashur, Ijma’ para mujtahid, Qiyas.

4. Sumber Madzhab Hambali: Al-Qur’an, Ijma’ sahabat nabi, Hadits, termasuk hadits mursal dan hadits dhoif, Qiyas.

Demikianlah keterangan ringkas dari beberapa kitab yang masyhur dalam madzhab syafi’ie yang sangat teratur dan rapi serta keterangan mengenai perbedaan antar madzhab yang empat secara prinsipil, akhirnya penulis serahkan semuanya kepada Allah SWT. Wallahu a’lam bis showab.

Bahan Bacaan:

Al-Fiqhu ‘Alal Madzahib Al-Arba’ah karya Al-Allamah Syekh Abdurrahman Al-Jazairi

Bidayatul Mujtahid Fi Nihayatil Muqtashid karya Ibnu Rusydi

Nihayatus Zain Fi Irsyadil Mubtadi’ien karya Al-Allamah Syekh Nawawi Al-Bantani

I’anatut Tholibin ‘Ala Syarhil Fathil Mu’ien karya Al-Allamah Syekh Bakkri Syata Ad Dimyati

Tarikhut Tasyri’ Al-Islami karya Al-Allamah Syekh Muhammad Al-Khudhori

I’lamul Ikhwan Bi Dzikri Ba’di Mazaya Fathil Mu’ien karya Syekh Ahmad Barizi Muhammad Fathillah

JAWABAN TERHADAP ARTIKEL YANG MENGHARAMKAN, MENSYIRIKKAN DAN MENGKAFIRKAN ORANG YANG BERDOA, BERZIARAH ATAU BERTAWASSUL KEPADA RASULULLAH SAW

“Menjadikan orang yang sudah meninggal baik itu nabi sebagai perantara tidak ada syari'atnya dan ini sangat diharamkan. Apalagi kalau ada yang berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh diberikan kepada selain Allah”

Begitulah potongan artikel di salah satu situs website yang saya baca tadi pagi yang secara tidak sengaja saya buka dan saya eksplore, nah sebagai seorang santri tentunya naluri kesalafiyahan saya tergelitik dan terangsang serta bagitu sangat tertarik untuk menjawab permasalahan tersebut berdasarkan pengetahuan dan kemampuan saya berdasarkan dalil-dalil baik itu dari al-qur’an, hadits maupun ijma’ul ulama’ al-a’lam.

Sebenarnya masalah ziarah kubur merupakan masalah fiqhiyah yang mana didalamnya mencakup berbagai macam hukum islam diantaranya halal, haram, makruh atau mandub.

Ada sebagian kelompok manusia yang mengatakan bahwa ziarah kubur merupakan perkara yang tidak ada didalam syariat bahkan dikatakan sebagai suatu kesyirikan, kekufuran dan keluar dari koridor agama tentunya agama islam. Okelah sebelum saya mengupas lebih dalam permasalahan mengenai ziarah kubur ini baiklah saya sodorkan perkataan dari seseorang yang memang dalam beberapa biografi dan track recordnya beliau sangat anti dengan hal yang berbau bid’ah, siapa lagi kalau bukan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang mana dari nama beliau inilah disandarkannya nama sebuah kelompok yang sampai saat ini menguasai tanah hijaz yaitu kelompok wahabi, beliau pernah berkata dalam salah satu karyanya yang berjudul “Qodiyyatut tawassul qodiyyatun fiqhiyyah”

قال الشيخ محمد بن عبد الوهاب : فكون البعض يرخص التوسل بالصالحين وبعضهم يرخصه بالنبى صلى الله عليه وسلم وأكثر العلماء ينهى عن ذلك ويكرهه فهذه المسألة من مسائل الفقه وإن كان الصواب عندنا قول الجمهور من أنه مكروه فلا ننكر على من فعله ولا إنكار فى مسائل الاجتهاد (فتاوى الشيخ محمد بن عبد الوهاب فى مجموعات المؤلفات, القسم الثالث ص 68 التى نشرتها جامعة الإمام محمد بن سعود الإسلامية)

Artinya: ada sebagian ulama yang membolehkan tawassul kepada orang sholeh dan ada sebagian lagi yang memperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW, maka ada sebagian beasar ulama’ yang melarangnnya dan ada juga yang memakruhkannya sebab masalah ini adalah dari permasalahan-permasalahan fiqhiyyah apabila benar menurut kebanyakan ulama’ itulah yang saya pegang dan dijadikan landasan dan apabila itu hukumnya makruh maka saya tidak mengingkari orang yang melakukan tawassul tersebuut karena tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihad. (diambil dari fatwa syekh Muhammad bin abdul wahhab dalam kumpulan karya-karyanya bagian ke III halaman 68 yang dipublikasikan oleh universitas imam Muhammad bin su’ud al-islamiyah).

Nah dari perkataan beliau ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tawassul menurut beliau sendiri adalah boleh walaupun dalam kenyataannya beliau sendiri lebih banyak menghukuminya sebagai perkara yang makruh, dan apakah makruh ini sama dengan haram? Atau bahkan sampai masuk dalam kategori syirik?

Banyak sekali kelompok manusia yang mengatakan bahwa berziarah atau bertawassul kepada nabi Muhammad adalah kufur, bid’ah dan syirik, padahal kalau kita merujuk kepada perkataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut, tentunya kita mungkin akan berpikir sepuluh kali untuk mengatakan hal-hal yang sedikit-sedikit mengkafirkan atau mensyirikkan orang, bukankah mengkafirkan orang tanpa dalil atau bukti adalah haram? Atau bahkan ia sendiri yang menjadi kafir?

Sayyid Muhammad bin Abbas Al-maliki Al-hasani dalam kitabnya “Az-ziyaroh an-nabawiyyah bainal bid’iyyah was syar’iyyah, hal 14” berkata:

شاع بين الناس أن أحاديث الزيارة كلها ضعيفة بل موضوعة وهو خطأ بلا ريب ومصادمة بين لقواعد الحديث بلا مين ولا يصدر عن محقق ممارس للحديث, خبير بقواعد الجرح والتعديل, بصير بالنقد والتخريج (الزيارة النبوية بين البدعية والشرعية لفضيلة السيد محمد بن عباس المالكى الحسنى الصفحة 14)

Anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa hadits yang menunjukkan tentang tidak bolehnya tawassul atau ziarah kepada nabi Muhammad SAW adalah hadits dho’ief atau hadits maudhu’ merupakan anggapan yang salah serta tanpa alasan yang jelas apalagi ilmiyah, baik ditinjau dari ilmu mustholahul hadits, asbabul wurud dari hadits tersebut serta berseberangan dengan qowaidul hadits serta tidak bersumber dari para ulama’ muhaqqiqul hadits dan tidak pula bersumber dari ulama’ yang mengerti akan qoidah cacat atau baiknya hadits tersebut serta tidak pula bersumber dari ulama yang ahli dalam studi kritik dan ikhroj mengenai hadits itu.

Terlepas dari itu semua bahwa hadits yang menurut anggapan mereka itu adalah dhoif ternyata merupakan kebalikannya, sebab derajat hadits tersebut menurut imam as-subky dan imam as suyuthi adalah hasan bahkan shohih. Sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Ad-Dzahabi dalam kitab Al-Maqoshidul Hasanah lis Sakhowi halaman 412, Imam Al-Munawi dalam kitab Faidhul Qodir fi Ahaditsil Basyir an Nadzir juz I hal 140 dan imam Al-Khuffaji dalam kitabnya Nasimur Riyadh juz 3 hal 511. Adapun hadits tersebut diriwayatkan oleh Musa bin Hilal al-Ubbadi dari Abdullah bin Umar al-Umari dan Ubaidillah bin Umar Al-Umari dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

من زا ر قبرى وجبته له شفاعتى

Artinya: barang siapa yang berziarah ke kuburanku maka wajiblah baginya mendapat syafa’atku.

Perlu kiranya pembaca ketahui bahwa beliau-beliau yang saya sebutkan diatas adalah ulama’ hadits yang sudah hafal ribuan hadits dan sudah teruji kesohorannya selama beberapa abad sampai sekarang, akan tetapi dalam masalah fiqih mereka masih bertaqlid kepada imam mujtahid muthlaq yang empat yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali yang mana dalam ajaran madzhabnya meraka mensyariatkan ziarah kubur sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab fiqihnya. dari sini sudah jelas bahwa Imamul Madzahib yang empat tersebut menshohihkan hadits mengenai bolehnya ziarah kubur kepada nabi Muhammad SAW.

Disamping hadits tersebut diatas yang menjadi sandaran saya mengenai bolehnya ziarah kepada nabi Muhammad, kiranya saya juga akan memaparkan dalil dari al-qur’an. Allah SWT berfirman:

ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما

Artinya: bahwa sesungguhnya manusia apabila berbuat dzolim pada dirinya sendiri mereka mendatangimu dan memohon ampun kepada Allah SWT dan Rasululullah memintakan ampun kepada Allah bagi orang tersebut niscaya mereka mendapatkan bahwa allah maha pengampun dan penyayang

Ayat ini menurut Jumhurul Mufassirin menerangkan tentang doa serta permohonan ampun yang dilakukan oleh Rasulullah SAW bagi umatnya yang datang berziarah kepada beliau baik ketika hidup maupun setelah beliau wafat. Adapun orang yang mengatakan bahwa ayat ini dikhususkan ketika Rasulullah SAW hidup jelas tidak benar, sebab fi’il dalam bentuk syaratnya menunjukkan kepada kata yang bersifat umum, jadi bisa dikatakan Rasulullah SAW memohonkan ampunan kepada Allah SWT bagi siapa saja yang berziarah kepadanya baik ketika beliau masih hidup maupun ketika beliau telah wafat, (Irsyadul Fuhul, Hal: 122).

Disini saya sampaikan pendapat para Mufassir yang terkenal mengenai ayat tersebut diatas, yang pertama adalah Imam Abu abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshori Al-Qurthubi dalam tafsirnya “Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, juz 5 halaman 260” yang kedua adalah Imam Al-Hafidz Syaikh Imaduddin Ibnu Katsir dalam kitabnya “Tafsir Ibnu Katsir”:

قال الإمام أبو عبد الله محمد بن أحمد الأنصارى القرطبى فى تفسيره "الجامع لأحكام القرآن" فى تفسير قوله تعالى: " ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما" روى أبو صادق عن علي قال: قدم عليما أعرابى بعد ما دفنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وحثا على رأسه من ترابه فقال: قلت يا رسول الله فسمعنا قولك ووعيت عن الله فوعينا عنك. وكان فيما أنزل الله عليك "ولو أنهم إذ ظلموا" وقد ظلمت نفسى وجئتك تستغفر لى فنودى من القبر أنه قد غفر لك (الجامع لأحكام القرآن, الجزء 5 الصفحة 260).

قال الإمام الحافظ الشيخ عماد الدين ابن كثير: ذكر جماعة منهم الشيخ أبو منصور الصباغ فى كتابه الشامل الحكاية المشهورة عن العتبى قال: كنت جالسا عند قبر النبى فجاء أعرابى فقال: السلام عليك يا رسول الله سمعت الله يقول: " ولو أنهم إذ ظلموا أنفسهم جاؤوك فاستغفروا الله واستغفر لهم الرسول لوجدوا الله توابا رحيما" وقد جئتك مستغفرا لذنبى مستشفعا بك إلى ربى. ثم انصرف الأعرابى فغلبتنى عينى فرأيت النبى صلى الله عليه وسلم فى النوم فقال: "الحق الأعرابى فبشره أن الله قد غفر له.

Kisah ini juga diriwayatkan oleh Imam Nawawi didalam kitabnya yang bernama Al-Idhoh pada bab 6 halaman 498, kemudian diteruskan periwayatannya oleh Syekh Abu Muhammad Ibnu Qudamah didalam kitabnya Al-Mughni juz 3 halaman 556 yang mana riwayat ini pernah dinukil oleh Abu Alfaraj bin Qudamah dalam kitabnya As-Syarhul Kabir juz 3 halaman 495.

Ada hal yang menarik mengenai permasalahan kalimat جاؤوك ada sebagian orang yang menyatakan bahwa kalimat tersebut hanya dikhususkan ketika nabi Muhammad SAW masih hidup dan bagaimana mungkin orang yang telah mati bisa memohonkan ampun buat orang lain? Jawabannya adalah bahwa para nabi pada hakikatnya hidup didalam kubur, karena Allah SWT telah mengharamkan kepada bumi dan binatang yang ada didalamnya memakan jasad para nabi dan rasul, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

إنى رأيت موسى قائما يصلى فى قبره

Bahwa sesungguhnya nabi Muhammad SAW diperlihatkan oleh Allah SWT amal perbuatan umatnya, lalu beliau memintakan ampun kepada Allah SWT segala perbuatan keji yang dilakukan umatnya, sedangkan beliau sendiri berada di alam barzakh atau alam kubur. Adapun hadits yang menjadi landasannya adalah:

ما رواه البزار مرفوعا والحافظ إسماعيل القاضى فى فضل الصلاة على النبى وبن سعد فى طبقاته عن بكر بن عبد الله المزنى مرسلا قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: حياتى خير لكم تحدثون ويحدث لكم فإذا أنا مت كانت وفاتى خيرا لكم تعرض علي أعمالكم فإن رأيت خيرا حمدت الله وإن رأيت شرا استغفرت لكم.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan dalam tulisan ini, semoga bermanfaat bagi para pembaca serta menjadi investasi amal kebajikan bagi saya kelak di akhirat, semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang selalu ditetapkan hati oleh Allah SWT dalam kedaan iman dan islam serta mendapatkan syafaat Rasulullah SAW kelak, dimana tidak ada perlindungan pada waktu itu kecuali lindungan Allah SWT. Wallahu ta’ala a’lam bis showab

As syifa’, 25 Desember 2010 M

Jam 22:15

Kak Tuan S’Nada