Minggu, 09 Januari 2011

“APAKAH MENGIKUTI SALAH SATU MAZHAB DALAM ISLAM MERUPAKAN SEBUAH KEHARUSAN??"

“Apakah mengikuti salah satu mazhab dalam Islam merupakan sebuah keharusan??" "Lalu apakah benar ikhtilath dalam bermazhab itu tidak dibenarkan??"

Begitulah bunyi dari pertanyaan yang dilontarkan oleh pemilik account di salah satu group jejaring social facebook yaitu FORUM KITAB KUNING, pertanyaan yang saya kira cukup menarik untuk dibahas serta dikaji oleh setiap anggotanya yang memang kebanyakan dari anggota dari group tersebut adalah alumni pondok pesantren yang tersebar di seluruh tanah air.

Sebagai salah seorang santri, terbenak dihati saya untuk mencoba menjawab sesuai kemampuan yang ada pada diri saya, maka setelah membaca dan mengambil ibaroh dari kitab-kitab yang mu’tabarah, saya mulai jawaban saya dengan membahas terlebih dahulu definisi taqlid, sebab yang menjadi tolak ukur dari pertanyaan tersebut diatas adalah mengikuti atau bertaqlid kepada salah satu madzhab serta ikhtilat atau mencampurkan fatwa antara madzhab yang satu dengan yang lainnya dalam satu ibadah amaliyah.

Taqlid dalam syariat islam artinya mengikuti, kalau boleh saya katakan "saya mengikuti madzhab imam syafi'ie" maka itu artinya "saya mengikuti madzhab syafi'ie" kalau misalkan si fulan mengikuti madzhab maliki, maka artinya si fulan itu mengikuti madzhab imam maliki dalam soal ibadat dan begitulah seterusnya.

Bertaqlid atau mengikuti salah satu madzhab yang empat itu dalam ajaran agama tidaklah jelek bahkan merupakan suatu keharusan karena hal itu terpakai dalam dunia islam dari dulu sampai sekarang, bahkan landasan teori tentang keharusan mengikuti suatu madzhab sendiri tertulis dalam al-qur’an dan kitab-kitab fiqih serta tafsier, bahkan banyak kita dapati dari dulu sampai sekarang ulama'-ulama' atau orang besar dalam islam yang dibelakang namanya digandengkan nama-nama imam tempat ia bertaqlid, misalkan pengarang tafsir Al-baghawi, beliau menuliskan namanya dengan "al-Imam Aljalil Muhyis Sunnah abi Muhammad al Husein bin Mas'ud al Farra' al-Baghawi as Syafi'ie" dan masih banyak lagi ulama’-ulama’ islam diantaranya adalah “Sayyid Muhammad Alawy bin Abbas al-Hasani al-Maliki”.

Mungkin kita perlu mengetahui bahwa tingkatan manusia dalam berijtihad kenyataanya terbagi menjadi tiga :

  1. Yang alim besar: yang saya maksud disini adalah para mujtahid muthlaq seperti imam yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'ie dan Hambali).
  2. Yang berilmu: yang saya maksud disini adalah para ulama’ akan tetapi dia masih belum mencapai derajat mujtahid muthlaq semisal para ulama’ yang bertaqlid kepada imam yang empat.
  3. Orang kebanyakan: seperti kita yang pada kenyataannya masih belum mengerti akan agama.

Agar tidak terjadi kesemrawutan mengenai pembagian tingkatan manusia tersebut diatas, baiklah saya mencoba untuk menjelaskan satu-persatu diantara golongan-golongan itu.

Golongan yang pertama, yaitu imam-imam mujtahid yang sudah sampai ilmunya kepada derajat mujtahid yang menurut ukuran umum dalam islam, maka ia boleh berijtihad dan bahkan wajib berijtihad untuk menggali suatu istinbat dari al-qur’an dan hadits, ia tidak boleh mengikuti mujtahid yang lain tetapi ijtihadnya itu tidak boleh membatalkan atau menyalahkan ijtihad para imam mujtahid yang telah mendahuluinya.

Sedangkan golongan yang kedua, ia wajib bertaqlid kepada salah satu imam mujtahid yang disukainya dan ia yakini akan kemampuan dan kreadibilitas keilmuannya akan tetapi ia harus menyelidiki dalil-dalil dan alasan-alasan dari fatwa imamnya.

Adapun golongan yang ketiga adalah golongan yang terbanyak dalam masyarakat kita, jadi mau tidak mau ia harus bertaqlid kepada salah satu imam dalam agamanya.

Dalam kitab Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadi'ien hal 7 Syekh Nawawi Banten mengatakan bahwa mujtahid itu terbagi menjadi tiga bagian sebagai mana yang tertuang dalam ibarohnya:

والمجتهد المطلق هو من يقدر على استنبا الأحكام من الأدلة ومجتهد المذهب هو الذى يقدر على الاستنباط فى قواعد إمامه كالمزنى والبويطى ومجتهد الفتوى من يقدر على الترجيح لبعض أقوال إمامه على بعض, كالنووى والرافعى لا كالرملى وابن حجر لأنهما مقلدان فقط, ويجب على من لم يكن فيه أهلية الاجتهاد المطلق أن يقلد فى الفروع واحدا من الأئمة الأربعة (نهاية الزين فى إرشاد المبتدئين, الصفحة 7)

Dari ibaroh diatas dapatlah saya mengambil beberapa poin penting diantaranya adalah:

  1. Mujtahid Muthlaq : ialah orang sanggup menggali istinbath hukum dari dalil dalil. contohnya imam yang empat
  2. Mujtahid Madzhab: ialah orang yang kuasa menggali hukum-hukum berdasarkan qoidah imam mujtahid muthlaq, salah satu contoh dalam madzhab syafi'ie adalah Imam al-Muzanni dan Imam al-Buwaithi sebab kedua-duanya adalah murid langsung dari imam syafi'ie.
  3. Mujtahid Fatwa: ialah orang yang kuasa mentarjihkan atau menguatkan perkataan imam yang ia taqlid, salah satu contoh dalam madzhab syafi'ie adalah Imam Nawawi dan Imam ar-Rofi'ie, sedangkan Imam ar-Ramli dan Ibnu Hajar al-Haitami sebab kedua-duanya masih taqlid kepada imam sebelumnya karena beliau belum sampai kepada derajat mujtahid tarjih/fatwa apalagi mujtahid madzhab apalagi sampai mujtahid muthlaq.

Nah dari uraian diatas sangatlah jelas bahwa mengikuti salah satu madzhab adalah merupakan suatu keharusan dalam islam agar supaya tidak salah jalan dalam hal ibadah dan amaliyah. Mungkin ada pertanyaan "bukankah dengan bertaqlid atau mengikuti salah satu madzhab, kita akan menjadi jumud, beku dan tak berkemajuan??" jawabannya “tentu tidak, karena kalau kita lihat dari dulu sampai sekarang banyak sekali ulama'-ulama islam yang menorehkan tinta emasnya dalam khazanah keilmuan islam, mereka bertaqlid tapi karya mereka masih tetap utuh sampai sekarang” contohnya Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhori atau yang kita kenal dengan Imam Bukhori, beliau masih bertaqlid kepada Imam Syafi'ie, tetapi alhamdulilah beliau tidak beku, bahkan kitab beliau banyak dikaji dan dibaca sampai sekarang oleh umat islam bahkan seluruh hadits yang diriwayatkan oleh beliau adalah shohih dan kitab Shohihul Bukhori merupakan kitab nomor dua setelah Al-Qur'an.

Dalam kitab I'anatut Tholibin hal 17 juz 1, Sayyid Abu Bakar Syatha ad-Dimyati berfatwa:

كل من الأئمة الأربعة على الصواب ويجب تقليد واحد منهم ومن قلد واحدا منهم خرج من عهدة التكليف وعلى المقلد أرجحية مذهبه أو مساواته ولايجوز تقليد غيرهم فى إفتاء أو قضاء. قال ابن حجر ولايجوز العمل بالضعيف بالمذهب ويمتنع التلفيق فى مسألة كأن قلد مالكا فى طهارة الكلب والشافعى فى مسح بعض الرأس (إعانة الطالبين, الجزء 1 الصفحة 17)

Artinya: setiap imam yang empat itu berjalan dijalan yang benar maka wajiblah bagi umat islam untuk bertaqlid kepada salah satu diantara yang empat tadi sebab orang yang sudah bertaqlid kepada salah satu imam yang empat tersebut maka ia telah terlepas dari tanggungan dalam keagamaan dam orang yang bertaqlid haruslah yakin bahwqa madzhab yang ia ikuti itu benar dan sama benarnya dengan yang lain serta tidak boleh bertaqlid kepada madzhab lain selain madzhab yang ia ikuti, seperti apa yang dikatakan oleh ibnu hajar alhaitami: tidak boleh seseorang yang menganut suatu madzhab berbuat talfiq (mencampur adukkan madzhab untuk mencari yang ringan-ringan) misalnya mengikuti imam malik yang mensucikan anjing dan juga mengikuti imam syafi'ie dalam membasuh sebagian kepala dalam berwudu'.

Talfiq sendiri ialah bertaqlid kepada dua madzhab dalam satu amal ibadah. contoh seorang yang berwudu' dengan wudhu' imam syafi'ie yang hanya megusap sebagian kecil dari kepala kemudia setelah itu salah satu badan atau bajunya dijilat anjing kemudia orang itu tetap sholat, ketika ditanya “kenapa anda sholat sedangkan anda tidak membasuh apa yang dijilat anjing sebanyakl 7 kali?” dengan enteng dia menjawab “lah wong kata imam malik anjing itu gak najis toh?” lah ini kan rusak? maka dari itu ikhthilat atau talfiq dalam bermadzhab itu sangat tidak dibenarkan sebab hal itu akan menjadikan tatanan keagamaan menjadi hancur dan tidak beraturan. wallahu a'lam bis showab ilahi istinadi wa'timadi wa ilaihi turja'ul umur.

Tidak ada komentar: