Selasa, 30 Maret 2010

HADITS MUSALSAL TENTANG DUA HARI RAYA[1]

Oleh : al-Faqir haliful Ajzi wa at-Taqshir Muhammad Khoiron bin alhaj Mahmud

Saya berkata bahwa sesungguhnya telah mengabarkan kepadaku Syekh Ahmad Barizi bin Muhammad bin Fathillah dari guru beliau yaitu Syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani dari gurunya yaitu Syekh Umar Hamdan Al-Mahrosy dan Syekh Muhammad Abdul Baqi al-Anshori serta Syekh Ali bin Falih ad-Dzohiri pada hari raya, dari gurunya yaitu al-Allamah Syekh Falih ad-Dzohiri pada hari raya, dari gurunya yaitu syekh Abu Abdillah Muhammad bin Ali as-Sanusi pada hari raya dari gurunya yaitu Syekh Hamdun bin Abdirrahman bin Alhaj as-Silmy al-Fasi pada hari raya dari gurunya yaitu syekh Muhammad at-Tawudi bin Tholib bin Saudah al-Mirry pada hari raya dari gurunya yaitu syekh Ahmad bin Abdil Aziz al-Hilaly pada hari raya dari gurunya yaitu syekh Muhammad bin Hasan al-Ujaimy pada hari raya dari ayahnya yaitu syekh Hasan bin Ali al-Ujaimy pada hari raya, dan syekh Umar Hamdan berkata bahwa sesungguhnya beliau juga mendapatkan ijazatus sanad hadits ini dari gurunya yaitu sayyid Ali bin Dzohir al-Witry pada hari raya.

Dalam riwayat lain bahwa sesungguhnya syekh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani berkata bahwa beliau mendapat ijazatus sanad hadits ini dari gurunya yaitu sayyid Abdul Muhsin bin Muhammad Amin Ridwan dan Syekh Ahyad bin Idris al-Bughury al-Jawi pada hari raya dari gurunya yaitu al-Allamah sayyid Muhammad Amin bin Ahmad Ridwan al-Madani pada hari raya dari gurunya yaitu syekh Abdul Ghoni bin Abi Sa’ied al-Umari pada hari raya dan beliau berkata bahwa sesungguhnya beliau telah mendengar dari syekh Muhammad Abid al-Anshori pada hari raya idul fitri dan beliau juga berkata bahwa beliau mendengar dari pamannya yaitu syekh Muhammad Husain pada hari raya idul fitri dari ayahnya yaitu syekh Muhammad Murad al-Anshori pada hari raya idul fitri dari syekh Hasyim as-Sanadi pada hari raya idul fitri dari syekh Abdul Qodir (beliau adalah mufti mekkah pada waktu itu) pada hari raya idul fitri beliau berkata bahwasanya beliau mendengar syekh Hasan bin Ali al-Ujaimy pada hari raya idul fitri berkata sesungguhnya telah mengabarkan kepadaku syekh Abu Mahdi Isa bin Muhammad at-Tsa’alaby dan syekh Muhammad bin Sulaiman ar-Roddani pada hari raya dari syekh Ali bin Muhammad bin Abdirrahman al-Ajhuri dan syekh Syihab Ahmad bin Muhammad al-Khoffaji pada hari raya dari gurunya syekh Sirojuddin Umar bin Uljai dan syekh Badruddin Hasan al-Kurkhi dari gurunya al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi[2] dari Imam Taqiyuddin Abul Fadl Muhammad bin Muhammad bin Fahd al-Hasyimy pada hari raya idul fitri diantara sholat dan khutbah dari Abu Hamid Muhammad bin Abdillah bin Dzohirah al-Qurosy pada hari raya idul fitri dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abdil Mu’thi al-Anshori al-Madani pada hari raya idul fitri dari al-Hafidz Abu Amr Utsman bin Muhammad at-Tauzari pada hari raya idul fitri dari Abul Hasan Ali bin Hibatullah al-Jummaizy pada hari raya idul fitri dari al-Hafidz Abu Thohir as-Salafy pada hari raya idul fitri dari Abu Muhammad Abdillah bin Ali al-Abnusy di kota Baghdad pada hari raya.

Imam Jalaluddin as-Suyuthi berkata bahwa sesungguhnya beliau menerimah ijazatus sanad hadits ini dengan dua derajat yang tinggi dari Abu Abdillah bin Muqbil al-Halaby dari Muhammad bin Ahmad al-Maqdisi dari Ibnu al-Bukhori dari Ibnu Thobruz dari Abu al-Mawahib bin Muluk pada hari raya dari al-Qodhi Abu at-Thoyyib at-Thobary pada hari raya dari Ahmad bin al-Ghuthorif di kota Jarjan pada hari raya dari Ali bin Dzahib al-Warraq pada hari raya dari Abu Abdillah Ahmad bin bin Muhammad bin Ukht Sulaiman bin Harb pada hari raya dari Basyr bin Abdillah al-Umawy pada hari raya dari Waki’ bin al-Jarrah[3] pada hari raya dari Sufyan at-Tsauri pada hari raya dari gurunya yaitu Ibnu Juraij pada hari raya dari Atha’ bin Rabah pada hari raya dari Ibnu Abbas pada hari raya bahwa sesungguhnya beliau yaitu Ibnu abbas menyaksikan langsung Rasulullah SAW pada hari idul fitri ataupun idul adha setelah melaksanakan sholat ied menemui kami secara langsung lalu beliau bersabda :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَصَبْتُمْ خَيْرًا فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْصَرِفَ فَلْيَنْصَرِفْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُقِيْمَ حَتَّى يَسْمَعَ الْخُطْبَةَ فَلْيَقُمْ

“Wahai manusia sekalian telah datang kepada kalian kebaikan (yaitu hari raya) barang siapa yang suka untuk pergi (setelah melaksanakan sholat ied) maka pergilah dan barang siapa yang suka untuk menetap (tidak pergi) sampai mendengarkan khutbah maka menetaplah”



[1] Hadits ini diijazahkan kepada saya di masjid Darur Rahman Pondok Pesantren Al-Mubarok Lanbulan Sampang Madura pada tanggal 10 Dzuhijjah 1430 H,

[2] Beliau adalah salah satu pengarang kitab tafsir Jalalain

[3] Beliau adalah guru Imam Syafi’I R.A

HADITS MUSALSAL TENTANG DUA HARI RAYA

Minggu, 07 Februari 2010

SEJARAH PERKEMBANGAN ALIRAN SYI’AH DAN KONSEP TEOLOGINYA

Muqoddimah

Syi’ah merupakan sekte paling tua dalam islam, hal ini terbukti karena aliran ini muncul pasca wafatnya Rasulullah SAW, dimana pada hari itu sebagian umat islam berpendapat bahwa yang paling berhak menjadi kholifah adalah Ali Karromallahu Wajhah hal ini diperkuat dengan hujjah mereka bahwa Ali adalah orang yang pertama kali masuk islam, yang paling banyak menghadapi cobaan dan berjuang fisabilillah bahkan punya hubungan nasab yang kuat dengan Rasulullah SAW.

Usaha mereka sia-sia untuk menjadikan Ali sebagai kholifah lantaran pada waktu itu Umar bin Khottob RA mengambil sikap dengan cara membaiat Abu Bakar, sedang Ali tidak hadir dalam rapat tersebut lantaran sibuk mengurusi jenazah Rasulullah SAW dan mempersiapkan waktu untuk pemakaman beliau, namun setelah Ali diberi tahu tentang pembaiatan Abu Bakar dia tidak mau membaiatnya toh walaupun pada akhirnya Ali mau membaitnya sebagaimana juga ia membaiat dua orang sahabat Abu Bakar yaitu Umar bin khottob dan Usman bin Affan.

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran Syi’ah

Adalah salah jika pada fase ini kita membicarakan tentang kesektean secara jelas atau lahirnya kelompok-kelompok yang bertarung. Pada saat terjadinya fitnah besar-besaran atas terbunuhnya Usman kedok kesektean pun terbongkar, sehinga sebagian umat islama bergabung di bawah panji Ali dan sebagian lagi dibawah panji Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Ali menjadi kholifah bukan atas suara bulat, namun sekelompok orang menuntutnya atas nama darah Usman karena ali tidak serius membelanya atau karena ali tidak menyelidiki kasus pembunuhan itu, sehingga terjadi pemberontakan dan peperangan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menuntut keadilan atas kematian Usman.

Sebagai akibat dari pertempuran terutama pada perang shiffin dan tahkim siyasi (Kebijakan Politik)[1] yang dilakukan dua kelompok yang bertikai maka jurang perpecahan semakin lebar, diantara mereka ada yang keluar dari barisan Ali yang kemudian dikenal dengan kaum Khawarij. Sebaliknya, ada pula kelompok yang mendukung dan membela Ali, mereka itulah benih-benih pertama dari aliran Syi’ah toh walaupun belum bisa dikonfirmasikan bahwa istilah Syi’ah sudah diterapkan pada kelompok ini pada waktu itu. Pertentangan khawarij melawan syi’ah nampak begitu jelas, dimana kaum khawarij memboikot kekhalifahan Ali setelah peristiwa tahkim serta menghasut massa untuk berbuat sama, sementara itu pihak lain begitu setia kepada Ali, karena mereka berpendapat bahwa tak seorangpun yang berhak menjadi khalifah dibandingkan Ali.

Kedua kolompok ini, yitu Syi’ah dan khawarij sama-sama merupakan musuh banui umayyah yang dengan kejam memerangi mereka, tidak diragukan lagi bahwa pristiwa karbala[2] serta terbunuhnya Husain (cucu Rasulullah SAW) merupakan salah satu politik dan spiritual terbesar dalam islam yang menyulut api permusuhan dimana jiwa para pendukung kaum Alawiyyin sarat dengan dengki dan rasa dendam. Kejadian ini disusul oleh pemberontakan Zaid bin Ali (121 H) terhadap Hisyam bin Abd. Malik, yang diikuti oleh pemberontakan Yahya (saudara Zaid) pada tahun 125 H, tetapi Hisyam berhasil menumpas bahkan membunuh pemberontakan yang dilakukan oleh dua orang saudara ini.

Dalam rangka menghadapi kejaran serta pembunuhan yang dilakukan oleh kaum Alawiyyin yang terjadi terus menerus, maka kaum Syi’ah berpendapat bahwa mereka harus membentengi diri dengan ajaran al-Taqiyah (pesan rahasia), untuk itu didirikanlah gerakan-gerakan rahasia, kampanye-kampanye underground dan mereka serius dalam melakukan studi dan kajian. Mereka mengadakan kontak dengan berbagai macam kebudayaan, mengadopsi apa yang perlu serta memasukkannya ke dalam ajaran agama yang perlu mereka masukkan dan mereka juga mampu mengumpulkan sejumlah ajaran dan pendapat yang menjadi landasan kepartaian dan kesektean sehingga mereka dapat menembus kelehamahan Daulah Abbasiyah hingga bisa memerintah, mereka mendirikan Negara-negara baik di Timur maupun di Barat yang masa puncaknya adalah Daulah Fatimiyah.

Sekte Syi’ah Yang Paling Penting

Tidaklah aneh jika syi’ah terbagi menjadi banyak kelompok dan sekte karena mereka merupakan campuran dari berbagai macam bangsa yang mempunyai banyak kecendrungan dan dorongan, hal ini disebabkan oleh peristiwa politik serta hubungan Mereka dengan para pemimpin-pemimpin tertentu yang menjadikan penyebab utama dari perpecahan mereka kedalam beberapa kelompok.

Diantara mereka ada kelompok yang bersifat ekstrim yang menganggap bahwa pemimpin-pemimpin mereka adalah suci bahkan sampai menganggap bahwa Ali mempunyai sifat-sifat kenabian atau mempunyai sifat ketuhanan seperti yang dilakukan oleh golongan As-Saba’iah yang bertindak ekstrim dan bahkan sampai melontarkan tuduhan kafir terhadap orang yang tidak sependapat dengan mereka.

Tapi dalam tulisan ini penulis akan menyisihkan Syi’ah yang ekstrim itu dan akan membahas aliran atau sekte dalam Syi’ah yang bersikap tengah yang terbatas hanya pada tuntuan mereka terhada kekhalifahan dengan memproklamirkan bahwa Ali dan anak keturunannya lebih berhak ketimbang yang lain, diantara kaum Syi’ah ada tiga sekte yang akan penulis bahas, yaitu : Az-Zaidiyah, Al-Isna Al-Asy’ariah dan Al-Isma’illiah.

  1. SEKTE AZ-ZAIDIAH DAN KONSEP TEOLOGI MEREKA

Az-Zaidiah adalah para pengikut Zaid (112-741 H) bin Ali bin Al-Husain yang dikenal sebagai pemberani, berilmu luas dan kuat berargumentasi. Keberaniannya itu menghantarkannya menuju kematian dalam rangka membela dakwahnya. Setelah beliau para pengikutnya tetap berbuat sehingga mereka meraih keberhasilan di sebagian daerah seperti Tabrasan, Yaman dan Maroko. Hingga sekarang di Yaman masih banyak sekali pengikut Syi’ah Zaidiah, khususnya di daerah-daerah pegunungan.

Sekte ini merupakan sekte yang paling bersikap tengah-tengah dan yang paling dekat dengan Ahlu As-Sunnah, mereka bisa menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar toh walaupun mereka lebih memperioritaskan kekhalifahan Ali dan anak keturunannya, mereja juga tidak memegangi pendapat tentang kesucian para pemimpin mereka. Para pengikut sekte ini memperbolehkan Imamah Al-Mafdul[3] sebagaimana mereka tidak menganut paham Al-Taqiyah serta serius mengkaji dan menggeluti ilmu Fiqh dan Hadist.

Mengenai masalah konsep teologi yang mereka Az-Zaidiah pada awalnya lebih dekat kepada kaum salaf, walaupun imam mereka berguru kepasa Washil bin ‘Atha’ (pendiri aliran Mu’tazilah)[4] yang mana pengajaran yang disampaikannya membuat mereka kagum, karena Washil mengajarkan bahwa kakeknya yaitu Ali, bisa melakukan kesalahan.[5]

Mayoritas pengikut aliran Zaidiah mengatakan bahwa Allah SWT adalah sesuatu yang tidak seperti sesuatu yang lain dan tidak serupa dengan sesuatu yang ada, ia maha mengetahui karena sifat mengetahui yang sifat ini bukanlah ia juga selain ia, ia maha kuasa yang sifat maha kuasa ini bukanlah ia juga bukanlah ia.[6] Pendapat ini sering diulang-ulang pleh sebagian kaum salaf pada abad ke 2 Hijriah, mereka juga berpendapat bahwa Allah SWT tidak boleh diberi sifat Maha Kuasa untuk melakukan kezaliman, karena Allah mustahil berbuat zalim.

Dalam menilai sifat-sifat Allah kita harus tertumpu pada informasi yang dibawa oleh teks-teks agama. Dan perlu kita ketahui bahwa sebagian penganut aliran Mu'tazilah di Baghdad bergabung dengan aliran Az-Zaidiah yang kemudian dua tokoh besar Mu'tazilah Bashrah yaitu Abu Ali Al-Juba'ie dan Abu Hasyim mampu menguasai ajaran-ajaran mereka.

Dari uraian ini sudah sangat jelas bahwa kaum Mu'tazilah sejak abad ke 6 H tidak menemukan perlindungan kuat kecuali pada kaum Az-Zaidiah Yaman dan melalui kaum ini pula kita dapat menemukan sumber-sumber pemikiran Mu'tazilah yang mana konsep teologi yang dipegang oleh kaum Az-zaidiah adalah pandangan Mu'tazilah murni.

SEKTE AL-ISNA AL-ASY'ARIYAH DAN KONSEP TEOLOGI MEREKA

Al-Isna Al-Asy'ariyah adalah salah satu cabang dari sekte Al-Imamiyah yang bersumber pada Ali karromallahu wajhah dan berakhir pada Muhammad Al-Mahdi dalam hal silsilah yang berjumlah 12 imam yaitu : Ali (40 H), putranya Al-Hasan (50 H) dan Al-Husain (61 H), Ali Zainal Abidin (94 H), Muhammad Al-Baqir (113 H), Ja'far As-Shodiq (148 H), Musa Al-Kazim (183 H), Abu Al-Hasan Arridha (202 H), Muhammad Al-jawwad (220 H), Ali Al-Hadi (254 H), Al-Hasan Al-Asy'ari (260 H) dan yang terakhir Muhammad Mahdi Al-Muntadzar. Aliran ini memberlakukan tradisi Al-Taqiyah dan Uzlah as-Siyasah (isolasi politik) sekte ini merupakan madzhab resmi di Negara Iran, India dan Irak serta mempunya pendukung yang jumlahnya berjuta-juta orang.

Menurut mereka konsep Al-Imamah setaraf dengan kenabian, Al-Imam menurut mereka adah hujjah Allah SWT di muka bumi, menerima wahyu, menafsirkan teks-teks agama dan menentukan jalan bagi umat islam. Mereka juga beranggapan bahwa bahwa para imam seperti halnya para nabi adalah ma'sum. Dengan demikian mereka menyulut problem kesucian dalam islam yang mana pada zaman para sahabat dan tabi'ien istilah tersebut belum lagi dikenal.

Isna Asy'ariyah mempunyai banyak teolog islam yang mana teolog pertama yang lahir dari sekte ini adalah Hisyam bin Al-Hakam (198 H) yang hidup sezaman dengan Abu Huzail dan terlibat perdebatan sengit seputar teologi yang sangat panjang dengan beliau, ia adalah orang yang ahli dalam melakukan pembuktian, mengemukakan pandangan-pandangan yang sangat kritis dari berbagai aspek dalam mengulas masalah teologis dalam islam yang banyak digeluti orang-orang pada zamannya semisal masalah nama-nama, sifat-sifat, kehendak dan gerakan Allah SWT. Ia juga menganut paham At-Tajsim (membadankan tuhan) yang mana puncak dari paham ini sangat janggal dan ekstrim.

Jelas sekali bahwa sikap aliran Isna Asy'ariah ini terhadap problematika ketuhanan telah melewati berbagai macam pemikiran diantaranya adalah pengingkaran Ja'far Shodiq tentang problematika teologis islam, sebaliknya penganut aliran ini menyerahkan atau dengan sedikit usaha mentakwilkan nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kemudian Hisyam bin Al-Hakam datang dengan menentang kaum Mu'tazilah yang menolak konsep Imamah versi Syi'ah sehingga dengan hal ini terjadilah berbagai macam konflik yang berkepanjangan diantara dua aliran yaitu Syi'ah dan Mu'tazilah.

Akan tetapi konflik diantara dua kubu ini menjadi reda lantaran politik yang dipimpin oleh Bani Buahi meredakan konflik diantara keduanya, kaum Isna Asy'ariah menjadi dekat kembali dengan Mu'tazilah lantaran kedua aliran tersebut sama-sama menganut konsep at-tanzih dan at-tajrid (me-maha esakan Allah dan me-maha abstrakkan Allah).

Diantara teolog aliran Isna Asy'ariah pada waktu itu adalah Syaikh Al-Mufid (413 H) beliau adalah penulis kitab tahzib al-ahkam (pemasyarakatan hukum) serta Nasiruddin Attusi (673 H) beliau adalah pencetus pencampuran teologi islam dengan filsafat. Dikalangan penganut syi'ah belakangan ini kita banyak menjumpai pemikiran-pemikiran Mu'tazilah diantaranya adalah pendapat yang mengtakan bahwa sifat Allah adalah ainzl zat (zat Allah itu sendiri) dan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, sebaliknya mereka menolak konsep al-kalam an nafsi (sifat berbicara yang merupakan bagian dari zat), Allah bias dilihat dengan pandangan mata baik di dunia maupun di akhirat.

SEKTE AL-ISMA'ILIAH DAN KONSEP TEOLOGI MEREKA

Isma'iliah merupakan sekte kedua dari aliran imamiah, terjadi banyak perbedaan tentang sejarah pertumbuhan, sebab disebut aliran isma'iliah dan sejauh mana hubungannya dengan Ja'far Shodiq. Terkadang isma'iliyah diklasifikasikan ke dalam aliran ekstrim, tetapi kadangklan diklasifikasikan ke dalam aliran moderat, kalau boleh dikatakan penulis sependapat dengan kelompok yang mengatakan bahwa Ismailiyah dihubugkan dengan Isma'il (145 H) atau imam yang ketujuh dalam aliran Syi'ah.

Sebagaimana kaum Isna Asy'ariyah, kaum Al-Isma'iliah juga menganut doktrin al-taqiyah sebagaimana juga menganut prinsip kewarisan spiritual, sehingga orang yang didakwahkan menjadi anak orang yang mendakwahkan serta dihungkan dengannya melebihi hubungan darah. Para da'i mempunyai derajat yang bertingkat-tingkat dalam melakukan dakwahnya, adapun tingkat yang paling tinggi adalah nabi yang menerima wahyu (al-kalam al-munazzal) nabi mereka disebut an-natiq (Juru Bicara Tuhan), satu tingkat dibawah nabi adalah para Imam yang berhak menakwilkan dan menafsirkan wahyu yang diterima Muhammad dan imam ini menurut mereka adalah al-asas atau al-washyu (asas atau wasiat). Jadi Muhammad menurut mereka adalah an-natiq (Jubir Tuhan) sedangkan Ali adalah Asas sedangkan imam setelah Ali adalah Hujjah dan da'i.

Tidak diragukan lagi bahwa aliran isma'iliyah adalah sekte yang banyak melakukan kajian, mereka hendak memfilsafatkan ajaran mereka dengan akidah islam, mereka memasukkan ideologi-ideologi asing antara timur dan barat yang mereka ketahui khususnya ajaran-ajaran neo platonisme ke dalam ajaran islam. Dan perlu kita ketahui juga bahwa filsafat yang mereka asimilasikan ke dalam akidah islam ada bahayanya, sebab proses trasnformasi akidah yang mereka doktrin tidak hanya berlaku pada orang–orang tertentu, akan tetapi sampai pada kalangan orang awam, oleh karena itu sebagai filsafat yang bersifat merusak yang menimpakan benih-benih jelek kepada akidah islam maka dalam rentan itu, akidah islam tertimpa serentetan bencana semisal kekacauan pemikiran, pemberontakan terhadap ikatan-ikatan agama dan pemenuhan terhadap panggilan barang haram serta menyulutnya gejolak-gejolak individual antar pendukung aliran dan sekte.

Filsafat ketuhanan aliran Isma'iliyah ini berlandaskan pada prinsip bahwa akal manusia tidak mampu mempersepsi zat ilahi, zat ini punya sifat-sifat yang mana sifat-sifat itu dituangkan pada akal pertama yang diciptakan Allah SWT. Kita hanya mengetahui al-aqlul mubtada' (akal yang dicipta) tetapi kita tidak bisa mengetahui al-bari' almubdi' (si pencipta, Allah SWT). Dengan demikian berarti mereka menganggap bahgwa Allah SWT tidak mempunyai sifat kendatipun mereka tidak mengakui hal ini.

Kaum Isma'iliyah memegangi teori emanasi atau pancaran (al-faid was shudur), seperti yang dilakukan oleh Al-Farobi dan Ibnu Sina, adapun teori mereka adalah "Dari akal beremanasilah an-nafs al-kulliyah (jiwa universal), dari jiwa universal beremanasilah materi. Dan dari persatuan antara akal, jiwa, materi, waktu dan ruang beremanasilah gerakan segala alam". Mereka menafsirkan penciptaan dalam interpretasi filosofis yang tidak sejalan dengan ke-mahakuasaan dan ke-mahakuasaan Allah SWT.

KESIMPULAN

Dalam kecendrungan kesekteaanya, Syi'ah mempunyai banyak cabang yang bertingkat-tingkat, oleh sebab itu kelompok yang berada dibawah naungannya juga banyak jumlahnya dan pandangan mereka pun dengan sendirinya beraneka ragam. Akan tetapi penulis dapat menyimpulkan bahwa Syi'ah berbeda pendapat dengan kaum sunni entah itu dalam hal teologi, akidah maupun doktrin.

Kalau boleh penulis katakan bahwa syi'ah adalah pelopor dari perpecahan paling besar dalam sejarah peradaban islam. Tentu pembaca bertanya-tanya mengapa? Karena islam di zaman awal dipenuhi oleh pertempuran-pertempuran dan ketamakan politik yang mana hal ini terjadi pada akhir hayat Usman bin Affan dan berlanjut pada masa pemerintahan Ali bin Abi Tholib yang pada dekade ini semakin parah perpecahan umat islam. Di masa selanjutnya, islam dipenuhi oleh kepartaian dan kesektean yang hingga kini masih hidup dan sudah tentu hanya akan memgembangkan paham chauvinisme yang pada akhirnya akan melemahkan persatuan dan kesatuan umat islam. Allahu A'lam bi Asshowab!



[1] Mukhtashor Tarik Al-Islamy fi Ahdi Khulafau Rasyidin halm. 99

[2] At Tarikh Al-Islami fi Ad-Daulah Umawiyah halm. 4-5

[3] (kepemimpinan dari orang-orang yang dianggap lebih dan utama)

[4] Dr. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisita, IV: 108

[5] Al-Syahrastani, al-milal, I : 208

[6] Al-Asy’ari, Maqalaat, 1: 70