Selasa, 02 Desember 2008

TRASNSISI DEMOKRASI


(Tinjauan Historis Perjalanan Demokrasi Ekonomi dan Liberal)
“Sejarah telah usai” begitulah klimaks teriakan seorang Francis Fukuyama, karena beliau berhasil menumbangkan komunisme di Uni Sovyet lewat program glasnost dan prestroika. Komunisme dan model demokrasi terpimpin yang awalnya begitu gagah dan tangguh melawan kapitlisme dan demokrasi liberal, tiba-tiba jatuh tersungkur tak bangkit lagi. Perang dingin telah usai lewat seruan Fukuyama demokrasi liberal dan kapitalisme bak raksasa yang tidak akan pernah tumbang oleh apapun.
Dari buku “Malapetaka Demokrasi pasar” Cuen Husain Pontoh menerangkan betapa tugas manusia modern yang note bene-Nya tidak akan pernah lepas dari apa itu politik dan demokrsi dan buku ini membongkar bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme adalah kebenaran tunggal yang tak tergugat.
Lima tahun sudah kita menyusuri jalan setapak bernama “Transisi Demokrsi” sejauh kaki melangkah dan mata memandang belum tampak juga ujung dan jalan ini. Rezim orde baru yang dictator berutal dan korup kini kita tidak pernah lagi mendengar hujatan tentang mereka bahkan telinga kita lebih sering mendengar suara-suara yang menginginkan ketenangan dan ketertiban tetapi kira-kira setelah hampir dua tahun terakhir ini tiba-tiba memoar ORBA bahkan lebih parah dari yang dulu seperti : korupsi yang merajalela disegala bidang, pelanggaran HAM yang tak menunjukkan tanda-tanda akan turun, hak sipil dan politik warga yang kian terancam dan kebebasan pers yang selalu dianggap benalu yang merugikan.
Buku ini juga menerangkan mengapa masa transisi tak mendatangkan kemashlahatan? Mengapa masa transisi justru menggiring orang pada masa silam yang otoriter tapi menyisakan kepastian? Hingga kini perdebatan mengenai sebab-sebab terjadinya keruntuhan transisi ini masih belum usai.
Sebagian orang berpendapat, jalan buntu seperti ini memang harus dilalui karena kerusakan dan yang diwariskan oleh ORDE BARU sudah terlanjur parah, menuntut perbaikan dalam hitungan hari adalah mimpi di siang bolong.
Kembali pada pembahasan awal buku ini menerangkan bahwa jalur yang kita yang telah kita jalani saat ini tampaknya mengikuti strategi “modernization via internationalization” setelah rezim Suharto jatuh dalam waktu singkat proses liberalisasi politik segera dilaksanakan maksudnya adalah setiap orang bebas mendirikan partai politik (parpol), setiap parpol bebas mencantumkan ideology selain Pancasila, UU tentang pelaksaan pemilu.
Pada saat bersamaan melalui IMF kebijakan noeliberal yang tertuang dalam nota kesepahaman (letter of intent/Lol) segera menjadi acuan bagi pemulihan krisis ekonomi. Lalu bagaimana hasil dari pelaksanaan strategi modernization via internationalization? Buku ini membahas secara gamblang bahwa apa yang terjadi selama ini memberikan konfirmasi pada hasil study Thomas Carothers, saat ini kita tengah memasuki zona politik abu-abu, maksudnya adalah demokrasi yang tak kunjung tiba tetapi juga tidak kembali ke masa kediktatoran ORBA.
Dalam masa transisi ini oligarki dan aparatus rezim lama yang berkumpul di lingkara rezim suharto berhasil membajak reformasi untuk mereorganisasikan kembali kekuasaannya. Pembajakan itu terjadi karena memeng strategi transisi tidak dimaksudkan untuk menghancurkan ologrki dan aparatus rezim lama, malahan mempertahankannya untuk kesinambungan rezim demokrasi pasar.
Buku ini juga mengajak kita untuk mengikat kejayaan rusia sesaat setelah Gorbachev dilantik 20 Januari 1985, ia mencanangkan kebijakan glasnost (reformasi) perestroika (restrukturisasi), kedua program ini mendapat dukungan dari Negara-negara kapitalis barat karena kedua program ini menurut mereka bermakna ganda:
1. liberalisasi dan restrukturisasi system politik yang dikuasai oleh elite birokrasi partai.
2. liberalisasi dan restrukturisasi ekonomi dengan menghancurkan hambatan-hambatan bagi beroperasinya mekanisme pasar.
Titik pijak utama dari kebijakan reformasi ekonomi adalah undang-undang tentang perusahaan Negara (Law On The State Enterprise) yang dipublikasikan pada Februari 1987 dan diadopsi secara penuh pada bulan juni 1987, tukuan utama dari undang-undang ini adalah “menciptakan indenpendensi ekonomi secara nyata” kepada perusahaan dengan berbasis kepada perhitungan untung-rugi.
Jatuhnya demokrasi di tangan komplotan para bandid sudah tercium dimana-mana, gejala umum yang menonjol adalah buasnya para saudagar dalam menduduki partai politik, jika dulu mereka hanya menduduki kursi sebagai bendahara maka kini mereka duduk sebagai ketua. Runyamnya prinsip demokrasi memeng diawali dari dibajaknya kepentingan public untuk memuaskan kepentingan para saudagar.
Relasi yang erat ini dihidupkan oleh berlakunya demokrasi procedural yaitu suatu system yang menganut demokrasi hanya sebatas pada penciptaan lembaga. Fasilitas ekonomi semacam ini bukan hanya memekan ongkos besar melakan juga mengabaikan kebutuhan-kebutuhan riil rakyat, pokok permasalahannya adalah bagaimana system demokrasi justru menghasilkan keputusan-keputusan yang menganiaya rakyat?
Buku ini menjelaskan panjang lebar mengenai demokrasi ekonomi dan liberal secara riil dan nyata, tetapi kekurangan buku ini adalah kurangnya memberikan solusi tepat bagi bangsa kita untuk keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan.
Selanjutnya saya sebagai peresensi mohon maaf sebesar-besarnya jika dalam resensi ini terjadi kesalahan dalam interpretasi sehingga tidak berkenan dihati penulis dan pembaca. Dan terakhir saya hanya bisa menganjurkan kepada anda untuk segera memiliki buku ini dan membacanya serta menemukan hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya.