Minggu, 09 Januari 2011

KITAB IHYA’ ULUMUDDIN SEBUAH MAHAKARYA SARJANA MUSLIM YANG SARAT AKAN KOMPLEKSITAS ILMU

"Kalau engkau bukan putra raja, juga bukan putra ulama' besar, maka jadilah penulis" begitulah ungkapan seorang al-ghozali akan pentingnya produktifitas dalam melahirkan karya, terutama dalam bidang tulis menulis. Dan memang penulis sempat berfikir dan berkesimpulan bahwa ungkapan al-ghozazli tersebut bukan hanya sekedar basi-basi atau pun slogan yang keluar dari mulut beliau tanpa adanya penerapan yang signifikan, tetapi lebih dari itu memang benar adanya, bahwa beliau adalah satu dari ribuan sarjana muslim yang produktif dalam bidang tulis menulis. Salah satu karya fenomenalnya yang masih banyak dikaji oleh berbagai lembaga pendidikan sampai sekarang adalah karyanya yang dikenal dengan ihya' ulumuddin, sebuah kitab yang telah berusia seribu tahun lebih yang didalamnya sarat akan berbagai macam disiplin ilmu.

Kitab ihya' ulumuddin adalah satu dari sekian karya al-ghozali yang mendapat tempat yang lebih dihati para ulama' islam, lebih-lebih mereka yang sudah mencapai tingkat ma'rifat kepada Allah SWT, sebab didalam kitab yang terdiri dari empat jilid besar tersebut banyak menerangkan berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu-ilmu dzhahiriyah dan bathiniyah.

Salah satu kelebihan dari kitabihya' ini adalah kompleksifitas berbagai macam disiplin ilmu yang pada kenyataannya sering dipakai didalam interaksi sesama manusia, diantaranya adalah ilmu-ilmu yang berkenaan dengan mu'amalah yang mengatur hukum dan tata cara kehidupan manusia dalam melaksanakan aktivitas sosial ekonominya seperti jual beli, hutang-piutang, hibah, pertanian dan lain sebagainya.

Adapun ilmu Mu'amalah itu sendiri menurut al-ghozali dalam kitab ini terbagi menjadi dua macam, yaitu mu'amalah dzhohiriyah dan mu'amalah bathiniyah, yang pada akhirnya masing-masing diantara mua'amalah ini terbagi menjadi beberapa bagian, yang pertama adalah mu'amalah dzhohiriyah terbagi menjadi dua macam, yang pertama adalah ibadat dan yang kedua 'adat (tata karma). Sedangkan mu'amalah bathiniyah itu sendiri terbagi menjadi dua bagian juga, pertama adalah kewajiban orang mukallaf untuk menjauhi dan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela sedang yang kedua adalah kewajiban bagi seorang mu'min untuk mengisi dan menghiasi hatinya dengan sifat-sifat terpuji.

Dari ke-empat pembagian ilmu yang dipaparkan oleh al-ghozali diatas maka paling tidak penulis menyimpulkan bahwa kitab ihya' ulumuddin terdiri dari ¼ bab yang menerangkan ibadat, ¼tentang adat (tata karma), ¼ muhlikat (perkara yang merusak hati manusia) dan ¼ tentang munjiyat (perkara yang menyelamatkan hati manusia), oleh karena itu maka tidak salah kalau para ulama banyak memberikan inducement atau testimony dan komentar tentang keagungan kitab ini.

Diantara ulama' yang memberikan komentar akan keagungan kitab ihya' ini adalah syekh yahya bin syaraf atau yang kita kenal dengan imam nawawi, beliau mengatakan "kadal ihya'u an yakuna qur'anan" kitab ihya' ulumuddin karya al-ghozali itu hampir menyerupai al-qur'an, syekh abu Muhammad al-kazuruni pernah berkata "andai kata semua ilmu itudihapus, niscaya aku akan mengambil kesimpulan dari kitab ihya'", dan habib Abdullah al-idrus seorang ulama' yang bergelar qhutbul auliya (walikutub) juga memberikan komentar tentang kitab ihya' ulumuddin karya al-ghozali ini, beliau mengatakan "lau ba'atsahullahu mauta lama ausholahya'a illa fil ihya'I" seandainya Allah SWT menghidupkan orang-orang yang telah mati, maka akan aku anjurkan kepada mereka mengamalkan apa yang ada dalam kitab ihya' ulumuddin.

Isi kitab ihya' ulumuddin yang sangat menonjol dan banyak menjadi rujukan ulama'-ulama' sufi mulai dari dulu sampai sekarang adalah pembahasan masalah tasawuf, karena pokok ajaran tasawufyang dikembangkan oleh imam junaidi al-baghdadi dan al-ghozali sendiri adalah bahwa pada dasarnya ilmu tasawuf itu merupakan bimbingan jiwa agar menjadi suci dan selalu menyatu dengan Allah SWT,sehingga dengan hal itu manusia memperoleh tuntunan yang dapat menyampaikannya kepada pengenalan tuhan dengan sebenar-benarnya dalam hal ini adalah tingkat ma'rifat.

Maka disinilah peran tasawuf sebagai jalan sebaik-baiknya dengan penghiasan akhlak seindah-indahnya jauh lebih baik dari pada pengetahuan dan hikmah lahiriyah semata, karena tujuan tasawuf adalah membawa manusia ke tingkat yang lebih mendekatkan manusia kepada Allah SWT.

Oleh sebab itu seorang sufi harus berusaha meningkatkan kwalitas keimanannya dengan mengaplikasikan sepuluh maqom dalam tingkatan tasawuf, yaitu:

  1. Maqom taubat: yaitu meningkatkan keimanan serta tidak mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan dosa-dosa sepadannya demi menjujung tinggi ajaran Allah SWT dan menjauhi segala yang menyebabkan murkanya.
  2. Maqom wara': yaitu menahan diri tidak melakukan sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah Allah SWT. Wara' itu sendiri menurut al-ghozali dibagi menjadi dua macam, yaitu: wara' lahiriyah (meninggalkan seluruh perbuatan kecuali karena Allah SWT) dan wara' bathiniyah (sikap hati yang tidak mau menerima selain karena Allah).
  3. Maqom zuhud: yaitu lepasnya pandangan keduniawian dan selalu memandang pandangan ukhrowi. Zuhud ini didalam kitab ihya' ulumuddin dibagi menjadi dua macam, yaitu: zuhud fardhu (zuhud dari segala barang haram) dan zuhud fadilah (zuhud dari barang halal demi meningkatkan kwalitas ketakwaan kepada Allah SWT).
  4. Maqom sabar: yaitu sifat dan sikap tabah atas tuntutan agama kepada manusia dalam menghadapi dorongan hawa nafsu.
  5. Maqom faqir: yaitu sifat tenang dan tabah ketika menderita dan selalu mementingkan orang lain.
  6. Maqom sukur: yaitu usaha memanfaatkan nikmat Allah SWT pada jalan ketaatan dan tidak mempergunakannya dalam kemaksiatan, sukur disini menurut al-ghozali juga berarti kesadaran bahwa semua nikmat datangnya dari Allah SWT.
  7. Maqom khouf: yaitu rasa takut dan ngeri dalam menghadapi siksa Allah.
  8. Maqom roja': yaitu rasa gembira hati karena mengetahui adanya kemurahan dzat yang menjadi tumpuan harapannya. disini al-ghozali mengibaratkan antara khouf dan raja' diibaratkan dua buah sayap burung, jika keduanya seimbang maka burung tersebut bias terbang dengan sempurna, tapi jika salah satunya ada yang patah ataupun rusak tentulah ia akan jatuh dan mati.
  9. Maqam tawakkal: yaitu sikap hati yang selalu bergantung kepada Allah SWT, dalam menghadapi segala urusan baik yang disuka, dibenci ataupun yang ditakuti.
  10. Maqam ridha: yaitu kepuasan hati dalam menerima nasib jelek sebagaimana menerima nasib baik, seseorang bias dikatakan mencapai makam ridha apabila ia mersa puas dan senang dalam menerima nikmat. Wallahu a'lam bis showab

Tidak ada komentar: